Ditengah derasnya arus modernisasi dan derasnya pengaruh global di Bali, masih ada satu desa yang setia menjaga detak jantung kebudayaan tradisional: Desa Singapadu Tengah. Terletak di Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar, desa ini bukan hanya dikenal sebagai desa seni biasa, ia adalah rumah bagi beragam talenta lokal yang menjadikan seni sebagai nafas kehidupan sehari-hari.
Desa ini terbagi ke dalam lima banjar dinas, yaitu Banjar Negari, Banjar Belaluan, Banjar Gria Kutri, Banjar Kutri, dan Banjar Abasan. Setiap banjar memiliki karakter dan kekayaan seni tersendiri. Dari tari tradisional, lukisan khas Bali, batik bernuansa lokal, pahatan patung, hingga ukiran kayu yang rumit dan penuh filosofi—semuanya tumbuh subur di desa ini. Namun satu bidang yang memiliki posisi istimewa adalah seni bangunan bergaya Bali, atau yang lebih akrab disebut stil Bali.
Sejak tahun 1970-an, Singapadu Tengah dikenal luas sebagai pusat pengerajin kayu untuk kebutuhan bangunan. Kala itu, pekerjaan stel kayu dan ukiran untuk kantor hingga pura mulai banyak dikerjakan oleh tangan-tangan terampil warga desa. Seiring berkembangnya waktu dan meningkatnya pariwisata, keahlian ini menjadi semakin spesifik: menciptakan bangunan dengan karakter Bali yang autentik dari struktur hingga ornamen, dari filosofi hingga taksunya.
Memasuki era 1980-an dan seterusnya, permintaan terhadap bangunan stil Bali melonjak. Beberapa hotel, villa, tempat ibadah, hingga resort mewah masih mengadopsi gaya Bali sebagai identitas arsitektural. Bahkan di tahun 2022 hingga kini, tren itu terus menguat.
Namun, dibalik gemerlapnya permintaan itu, ada satu kenyataan yang menyedihkan: semakin sedikit anak muda yang mau melanjutkan profesi sebagai undagi atau tukang stil Bali. Profesi ini mulai dianggap “kuno”, tidak seprestisius pekerjaan di sektor pariwisata atau digital.
Menurut data terbaru tahun 2025, jumlah undagi di masing-masing banjar tinggal segelintir, antara lain: Banjar Negari: 6 orang, Banjar Belaluan: 5 orang, Banjar Gria Kutri: 3 orang, banjar Kutri: 5 orang, dan Banjar Abasan: 4 orang. Angka-angka ini bukan sekadar statistik mereka adalah sinyal bahaya.
Tanpa generasi penerus, seni bangunan Bali yang sarat nilai spiritual dan budaya bisa hilang perlahan. Taksu kharisma sakral dalam bangunan Bali bukan sekadar hasil dari ukiran dan bentuk. Ia lahir dari pemahaman, keyakinan, dan proses yang dilakukan oleh mereka yang mengerti roh budaya Bali. Jika pembuatnya tak lagi paham makna di balik setiap garis ukiran dan arah bangunan, maka bangunan Bali tak ubahnya hanya dekorasi kosong tanpa jiwa.
Oleh karena itu, penting untuk mengambil langkah nyata dan strategis. Tidak cukup hanya mengagumi hasilnya kita harus menghidupkan kembali prosesnya, memperkuat komunitasnya, dan menarik kembali anak-anak muda untuk mencintai serta menjalani profesi ini dengan bangga.
Desa Singapadu Tengah kini berada di persimpangan jalan: antara kehilangan warisan atau menciptakan generasi penjaga baru. Melalui program pengabdian, kolaborasi, pelatihan, dan pemberdayaan, diharapkan bara semangat stil Bali dapat dinyalakan kembali—tidak hanya untuk hari ini, tetapi juga untuk masa depan Bali yang tetap memuliakan akar budayanya.